Dari sepatu pun kita bisa lupa, atau bahkan tidak seharusnya kita
pikirkan dan mempercayai hal didalamnya. Kisah ini saya baca dari buku yang saya
pinjam dari teman SMP, Annisa namanya, yang ia beli saat masih nyantri di
Pondok Gontor. Silahkan dipantengin yaa.. Dan jangan lupa aplikasikan
hikmahnya. :)
Pada
suatu hari, sehabis sholat subuh Abu Nawas buru-buru ke pasar. Ia ingin membeli
barang-barang kebutuhan dapurnya. Sepanjang jalan ia selalu menyapa orang-orang
yang berpapasan dengannya. Maklum, ia tergolong orang yang ramah. Beberapa lama
kemudian ia sampai di pasar. Ia tidak langsung membeli barang-barang
keperluannya. Ia sengaja berjalan-jalan terlebih dahulu untuk melihat-lihat
keadaan di dalam pasar. Ketika ia sampai di salah satu sudut pasar,
pandangannya tertuju pada kerumunan orang. “Hayo tuan-tuan, ini barang murah...
ini barang antik...” teriak seorang lelaki tua menawarkan dagangannya di tengah
kerumunan.
Abu Nawas bergegas menuju kerumunan
orang itu. Dilihatnya banyak sekali barang bagus yang dijual dengan harga di
bawah harga pasar. Sebagaimana yang lain, Abu Nawas pun ikut memilih-milih
barang. Siapa tau ada barang yang dibutuhkannya.
Sudah beberapa barang
dilihat-lihatnya, dipegang dan diteliti dengan seksama, namun Abu Nawas kurang
tertarik. Ia segera mengembalikan barang-barang itu pada tempatnya. “Ini barang
apa, tuan?” tanya Abu Nawas sambil tangannya menunjuk barang yang masih
terbungkus.
“O, itu?” kata si pedagang, “Itu
sepatu ajaib,” jawabnya.
"Sepatu ajaib?” tanya Abu Nawas
“Benar tuan. Itu sepatu ajaib yang
tidak sembarangan orang memilikinya.”
Abu Nawas semakin penasaran, lalu ia
bertanya lagi, “Apa kehebatan sepatu ajaib ini?”
“Kehebatannya adalah, bila tuan
membelinya, tuan akan dikenal banyak orang. Sebab sangat sedikit orang yang
memiliki dan memakai sepatu ini. Begitu juga, bila tuan semula adalah orang
yang tidak punya, maka akan menjadi orang berpunya.”
“Hebat sekali... Berapa harganya?”
“Murah tuan, hanya 500 dirham.”
“Wah, itu terlalu mahal,” sergah Abu
Nawas, “tapi biarlah, ini saya beli, ya!”
Pedagang itu kemudian membungkus
sepatu ajaib dan diserahkan kepada Abu Nawas. Karena Abu Nawas hanya membawa
uang 500 dirham, ia pun langsung pulang, tidak jadi membeli barang-barang
keperluannya.
Ketika sampai di rumah, Abu Nawas
hampir saja dimarahi istrinya. Sebab istrinya telah cukup lama menunggu
kedatangannya beserta bahan-bahan mekanan untuk dimasak hari itu. Tetapi yang
dibawa malah sebuah sepatu. Ketika istrinya akan marah, Abu Nawas menghiburnya,
“Maafkan aku istriku, aku belum berbelanja untuk keperluan makan hari ini.
Tetapi aku membawa sesuatu yang bisa membuat kita segera menjadi orang yang
terkenal dan kaya mendadak.”
Sambil mengeluarkan sepatu ajaib itu
dari bungkusnya, Abu Nawas terus menghibur istrinya. “Lagi pula untuk keperluan
masak hari ini, kita kan bisa membelinya di toko terdekat sekitar sini.”
Mendengar perkataan Abu Nawas yang demikian, istrinya pun bisa menerimanya.
Beberapa hari kemudian, Abu Nawas
terus menunggu. Di dalam pikirannya terbayang sebentar lagi ia akan menjadi
orang kaya dan terkenal. Hari berganti hari, hingga sampai sebulan sudah ia
menunggu. Namun saat-saat yang ia impikan itu tetap saja tak kunjung jadi
kenyataan. Akhirnya Abu Nawas memutuskan untuk memakai sepatu ajaib itu kemana
saja ia pergi. Sampai-sampai Abu Nawas menjadi terkenal, sebagai pemilik sepatu
ajaib.
Namun anehnya, setiap Abu Nawas
memakai sepatu tersebut, setiap kali itu pula kakinya lecet, terluka. Maklum,
sepatu itu sangat kasar fisiknya. Barangkali sangat kasar ini ia pula yang
menyebabkan orang-orang tidak mau membelinya. Pendek kata, hanya Abu Nawas yang
memiliki sepatu seperti itu.
Karena setiap kali sepatu itu selalu
dipakai selalu melukai kakinya. Abu Nawas pun kemudian berniat membuang sepatu
tersebut. Ia lalu melemparkannya ke atas genting. Sengaja ia melemparkannya
kesana, karena siapa tahu kapan-kapan sepatu itu bisa dimanfaatkan lagi. Tetapi
karena melemparkannya terlalu keras, genting rumahnya banyak yang pecah dan
rontok ke tanah.
“Sepatu sialan!” gerutunya. “Sudah
sering melukai kaki bila dipakai, sekarang malah membuat genting rumahku rontok
dan banyak yang pecah.”
Ia kemudian mengambil sepatu itu dan
melemparkannya ke parit depan rumahnya. Namun apa yang terjadi? Ketika musim
penghujan datang, parit itu tersumbat dan airnya pun tidak bisa mengalir
lancar. Akibatnya, ia membludak ke mana-mana. Seluruh desa tergenang air.
Pada penduduk pun beramai-ramai
membersihkan parit. Hingga sampai akhirnya salah satu diantara mereka ada yang
melihat sesuatu yang menyumbat aliran air. Ia kemudian mengambilnya dari parit
tersebut. “Ternyata sepatu ini yang menyebabkan kampung kita menjadi banjir,”
kata orang itu sambil menunjukkan kepada teman-temannya.
“Ini kan sepatu milik Abu Nawas yang
sering dipakai itu?” sahut yang lain.
Karena itu, Abu Nawas pun dimarahi
para penduduk. Sementara Abu Nawas sendiri hanya bisa diam, sebab bagaimanapun
ia telah bersalah membuang sepatu ajaib itu ke parit.”
“Sepatu ini kembali memwaba
kemalangan bagi saya,” desah Abu Nawas. “Saatnya aku harus menyingkirkannya
jauh-jauh, namun bagaimana caranya?!”
Rupanya ia tidak mau menempuh cara
seperti yang pernah dilakukannya terdahulu, ia berpikir untuk menemukan cara
terbaik menyingkirkan sepatu ajaib itu. Lama ia termenung, hingga akhirnya
malam pun tiba. “Nah, sekarang aku menemukan cara yang bagus,” ucap Abu Nawas
smontan. “Aku akan memungut sepatu ini ke tanah sedalam-dalamnya agar tidak
lagi menimbulkan kemalangan bagiku.”
Malam itu juga Abu Nawas berniat
untuk mengubur sepatu ajaibnya. Ia tidak ingin berlama-lama bersamanya.
Abu Nawas kemudian keluar dari pintu
belakang rumahnya. Sengaja begitu, karean ia tidak ingin ada orang lain melihat
apa yang sedang ia kerjakan. Tak lama kemudian ia sudah memasukkan sepatu itu
ke dalam lubang galian. Setelah selesai menimbun dengan tanah, ia pun bergegas
kembali masuk ke rumahnya. Hatinya terasa lega. Sebab sesuatu yang membuatnya
sial telah ia singkirkan dari hadapannya.
Akan tetapi tanpa sepengetahuan Abu Nawas, sepatu
ajaib itu telah diganti dan diambil oleh pencuri yang sejak lama mengintai
gerak-geriknya tadi. Pencuri itu mengira bahwa Abu Nawas menimbun emas yang
sangat banyak.
Karena malam itu sangat gelap sekali, pencuri itupun
langsung membawanya pergi tanpa mengetahui barang apa sebenarnya yang ia bawa.
Dalam hatinya Cuma ada satu, yakni ia telah mendapatkan emas yang sangat
banyak.
Namun ketika pencuri itu sampai di depan rumah
penduduk yang ada lampunya, ia baru menyadari bahwa yang dibawanya itu bukan
emas. “Astaga...! ternyata iiu hanya sebuah sepatu jelek!” teriak si pencuri
itu sembari membantingnya.
Karena pencuri itu belum mendapatkan barang sedikitpun
yang bisa ia bawa pulang, akhirnya untuk melampiaskan kekecewaannya, ia pun
mencuri dan menguras habis barang-barang di dalam rumah yang ada lampunya
tersebut.
Keesokan harinya si pemilik rumah itu terkejut bukan
main. Semua barang yang ada di dalam rumahnya telah habis disikat pencuri, ia
kemudian memeriksa sudut-sudut rumahnya, dengan harapan masih ada barang
berharga yang tersisa. Selang beberapa saat kemudian, pemilik rumah itu
menemukan sesuatu yang tergeletak di halaman rumahnya. “Lhi ini kan sepatu
ajaib milik Abu Nawas,” ucapnya ketika mengingat pemilik sepatu itu yang tidak
lain adalah Abu Nawas. “Mengapa ada disini? Jangan-jangan yang mencuri tadi
malam adalah Abu Nawas,” pikirnya kemudian.
Bersama-sama orang sekampung, pemilik rumah yang
kecurian itu kemudian mendatangi rumah Abu Nawas. Ketika sampai di rumahnya,
Abu Nawas terkejut bukan main, ketika dituduh sebagai pencuri. “Bila aku yang
mencuri, apa buktinya?!” bantah Abu Nawas.
“Ini buktinya,” jawab pemilik rumah yang kecurian itu,
sambil menunjukkan sepatu Abu Nawas. “Bukankah ini sepatu milikmu yang
tertinggal tadi malam saat engkau mencuri?”
Abu Nawas seketika itu juga menyadari apa yang
terjadi. Ia lalu menjelaskan perkara yang sebenarnya sejak awal hingga akhir.
Orang-orang itupun percaya dengan penuturan Abu Nawas, sebab Abu Nawas selama
ini dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi pekerti baik.
Setelah para penduduk meninggalkan rumahnya, Abu Nawas
pun kemudian bermaksud mengembalikan sepatu ajaib itu ke pedagang di pasar
tempat ia membeli. Setelah berpamitan dengan istrinya, ia segera pergi ke pasar
untuk menemui si pedagang sepatu tersebut. Tak lama kemudian, sampailah juga ia
di pasar dan menemukan pedagan yang dimaksud.
“Assalamu’alaikum!” ucap Abu Nawas memberi salam.“Wa’alaikum salam,” jawab si pedagang, “Oh, engkau
Tuan, bagaimana kabarmu?”
“Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan!” jawab
Abu Nawas ketus.
“Ditimpa kemalangan bagaimana?” tanya pedagang itu
penasaran.
“Gara-gara sepatu ini, aku terus-menerus tertimpa
kemalangan. Padahal dulu engkau mengatakan bahwa sepatu ini bisa mendatangkan
keberuntungan. Aku bisa menjadi orang terkenal dan kaya. Tetapi mana buktinya?
Malah aku sering kena marah dari penduduk kampung karena sepatu ini.”
“Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti
itu tuan?” jawab si pedagang tua itu mengelak.
“Saya mengatakan bahwa bila tuan
semula adalah orang yang tidak punya, maka tuan akan menjadi orang yang punya.
Buktinya sekatang tuan dikenal oleh orang banyak karena memilikinya.”
Mendengar penuturan pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa
diam. Ia menyadari bahwa dirinya telah salah tafsir. “Tapi... tapi... mengapa
sepatu ini engkau katakan sepatu ajaib?” tanya Abu Nawas kemudian.
“Oh itu?” pedagang tersebut menjawab, “sebab merk
sepatu itu bernama Ajaib. Jadi pantaslah bila saya menyebutnya dengan sepatu
ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan emas. Sebab ikan itu berwarna seperti
emas.”
Lagi-lagi Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa
mendengar penuturan pedagang itu. Lantas, ia mohon diri begitu saja. “Tapi
tunggu tuan!” cegah pedagang itu ketika melihat Abu Nawas bergegas pergi. “Saya
ingin mengatakan sesuatu kepada tuan.”
“Ya, silahkan! Apa yang ingi kamu katakan,” jawab Abu
Nawas.
“Saya ingin berpesan, janganlah sekali-kali di hati
tuan ada sedikitpun rasa percaya bahwa sesuatu selain Allah itu bisa
mendatangkan kekayaan atau keberuntungan atau yang laiinya. Sebab percaya pada
sesuatu selain Allah SWT itu bisa membuat kita syirik dan mendapatkan kesusahan
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Buktinya, sebagaimana yang tuan alami.
Oleh karena itu, segeralah bertaubat kepada Allah SWT. Memang, syirik seperti
ini jarang sekali kita sadari, kecuali oleh hamba-hamba Allah yang selalu
berserah diri kepada-Nya.”
Mendengar penuturan seperti itu, Abu Nawas baru
menyadari kesalahannya. Ternyata banyak sekali hal-hal yang bisa membawa kepada
perbuatan yang dimurkai Allah. Mulai saat itulah ia sangat berhati-hati kepada
hal-hal yang –kadang-karang tanpa disadari– akan menjerumuskan kita pada
perbuatan syirik kepada Allah SWT. Astagfirullaahal’azhiim
wa atuubu ilaihi.
(Kisah
ini dikutip dari buku “Ashabul Ukhdud 50 Kisah Penggugah Jiwa”. Editor: Achmad
Jauhari)